Paradoks dalam Matematika
Matematika tidak selamanya
membahas tentang angka. Dalam matematika juga dibahas masalah logika, yang
biasanya tersusun atas pernyataan-pernyataan atau premis-premis, serta memiliki
nilai kebenaran (benar atau salah).
Seiring dengan
berkembangnya pemikiran manusia, ditemukan banyak premis-premis yang memiliki
dua nilai kebenaran sekaligus. Sesuatu yang sama, tapi memiliki nilai kebenaran
yang berbeda. Sesuatu yang benar sekaligus salah. Kondisi seperti inilah yang
dikenal dengan istilah paradoks.
Kata paradoks berasal dari
bahasa Latin Paradoxum, (para=dengan cara/menurut, doxa=apa yang diterima). Paradoks juga
sering disebut Antinomi karena
melanggar hukum Principum Contradictionis.
Contoh sederhananya adalah
sebagai berikut:
Misalkan a=b,maka:
a = b
a2 = ab (kedua ruas dikali a)
a2-b2 = ab-b2 (kedua ruas dikurangi b2)
(a+b)(a-b) = b(a-b) (kedua ruas difaktorkan)
a+b = b (kedua ruas dibagi (a-b))
b+b = b (substitusikan a=b)
2b = b
2 = 1 (kedua ruas dibagi b)
Dari contoh tersebut
didapatkan bahwa 2=1. Kita tahu hal ini tidak benar karena jelas 2 tidak sama
dengan 1. Nmun langkah-langkah di atas sangat struktural. Pada saat pembagian
dengan (a-b), sebenarnya kita melakukan pembagian dengan nol, karena a=b, maka
a-b=0, sementara dalam matematika, pembagian dengan nol tidak didefinisikan.
Jadi, bukti yang terlihat logis di atas sebenarnya adalah salah.
Beberapa jenis paradoks antara lain:
1.
Paradoks Epimenides
Paradoks ini pertama kali diungkapkan oleh Epimenides
sekitar abad ke enam masehi. Paradoks Epimenides berbunyi:
“Epimenides si orang Kreta mengatakan bahwa semua orang Kreta adalah
pembohong.”
Dari pernyataan tersebut, kita dibawa pada dua kesimpulan:
Kesimpulan pertama
-
Jika
Epimenides berkata benar, berarti ia bukan pembohong.
-
Jika
ia bukan pembohong, berarti yang dikatakannya tidak benar, karena ia adalah
orang Kreta.
-
Jika
yang ia katakan tidak benar, berarti ia pembohong.
Kesimpulan
kedua
-
Jika
Epimenides berkata tidak benar, berarti ia pembohong.
-
Jika
ia pembohong, berarti yang ia katakan adalah benar, karena ia adalah orang
Kreta.
-
Jika
yang ia katakan benar, berarti ia bukan pembohong.
2.
Paradoks Russell
Paradoks ini dikemukakan dan dirumuskan oleh Betrand
Russell (1872-1969). Isi paradoksnya adalah, bayangkan sorang pemangkas rambut
di sebuah desa. Tukang pangkas itu, kata Russell, hanya mencukur orang yang
tidak mencukur rambutnya sendiri.
Dari
pernyataan tersebut, jika tukang pangkas mencukur rambut orang di desa itu, dan
tidak mencukur rambutnya sendiri, maka tukang pangkas itu seharusnya mencukur
rambutnya sendiri. Tapi jika tukang pangkas mencukur rambutnya sendiri, maka ia
tidak dapat mencukurnya karena tukang pangkas hanya mencukur orang yang tidak
mencukur rambutnya sendiri.
Selain itu contoh paradoks ini dalam konteks matematika
adalah misalkan M adalah kumpulan semua himpunan yang tidak memuat dirinya
sendiri sebagai anggota. Jika M tidak memuat M sebagai anggota, maka M adalah
anggota M. Tapi jika M adalah anggota M, maka M harus dikeluarkan dari M,
karena syarat keanggotaan M. Artinya, M ∈ M jika dan hanya jika M ∉ M.
3.
Paradoks Galileo
Terdapat dua lingkaran
berpusat sama . Bila lingkaran luar digelindingkan pada suatu garis sejauh satu
putaran, sedemikian hingga titik A pada lingkaran luar sampai di B, maka jarak
A ke B tentu sama dengan keliling lingkaran luar.
Jika lingkaran dalam menempel pada lingkaran luar, maka
lingkaran dalam juga mengalami 1 putaran. Perhatikan bahwa titik C pada
lingkaran dalam sampai di D sebagai akibat lingkaran luar yang digelindingkan.
Ini berarti CD = keliling lingkaran dalam.
Dari logika di atas, terlihat bahwa CD = AB. Dengan
demikian, keliling lingkaran dalam = keliling lingkaran luar.
4.
Paradoks Zeno
a. Paradoks Dikotomi
“Sebuah benda yang bergerak tidak akan pernah mencapai tujuan. Pertama-tama
dia harus menempuh perjalanan setengah jarak. Lalu setelah itu dia mesti
menempuh seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertigapuluhdua …
Sedemikian hingga jumlah perjalanannya menjadi tak-hingga.
Oleh karena mustahil melakukan perjalanan sebanyak tak-hingga, maka benda
tidak akan dapat sampai tujuan.”
Menurut Zeno, apabila orang
hendak berjalan menuju garis finis, maka lintasan jalannya dapat dibagi jadi
bagian kecil-kecil. Kemudian supaya bisa lewat, maka bagian kecil-kecil itu
harus dijalani satu per satu. Sedemikian hingga pada akhirnya orang sampai
garis finis.
Akan tetapi problemnya adalah
bahwa yang kecil-kecil itu jumlahnya amat banyak. Malah menurut Zeno jumlahnya
mencapai tak-hingga.
Jadi sekarang sudut pandangnya
berubah. Kita tahu orang bisa menempuh jarak kecil-kecil, tetapi, bisakah orang
menempuh jarak kecil-kecil itu tak berhingga kali?
b. Paradoks Achilles dan Kura-Kura
“Achilles dan Kura-kura melakukan lomba lari, meskipun begitu, kura-kura
diizinkan start lebih awal.
Agar dapat menyamai kura-kura, Achilles menetapkan sasaran ke tempat
kura-kura saat ini berdiri.
Akan tetapi, tiap kali Achilles bergerak maju, kura-kura juga bergerak
maju. Ketika Achilles sampai di tempat kura-kura, kura-kura sudah berjalan
sedikit ke depan.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang sekarang. Akan tetapi
setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju sedikit lagi.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang sekarang. Akan tetapi
setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju sedikit lagi. Demikian seterusnya
ad infinitum.
Jadi kesimpulannya mustahil bagi Achilles untuk bisa menyamai kura-kura
dalam balapan.”
Lewat paradoks ini Zeno
menyatakan bahwa “mustahil bagi orang yang telat balapan untuk dapat menyamai
lawannya”.
Alasannya? Karena terdapat
sejumlah kemajuan kecil-kecil yang tak mungkin dikejar. Setiap Achilles sampai
di tempat kura-kura, kura-kura selalu sudah melaju sedikit lagi di depan. Pada
akhirnya Achilles digambarkan Zeno sebagai “tak akan mampu melewati kura-kura”.
c. Paradoks Anak Panah
“Misalnya kita membagi waktu sebagai “deretan masa-kini”. Kemudian kita
lepaskan anak panah. Di setiap “masa-kini” anak panah menduduki posisi tertentu
di udara.
Oleh karena itu anak panah dapat dikatakan diam sepanjang waktu.”
Zeno melihat waktu sebagai
rangkaian “masa-kini” yang berkesinambungan. Oleh karena itu sebuah anak panah
yang meluncur memiliki berbagai versi “masa-kini” di perjalanannya. Ada
“masa-kini” sesaat sesudah lepas dari busur; “masa-kini” setelah beberapa detik
di angkasa, dan seterusnya.
Problemnya adalah bahwa di tiap
“masa-kini” itu anak panah mendiami tempat yang tetap. Persis seperti kalau
direkam kamera video. Di setiap frame tampak berbagai kondisi anak panah. Semua
tampak diam. Akan tetapi kalau videonya diputar, barulah terkesan bahwa anak
panah itu sebenarnya bergerak.
Jadi di sini ada problem: bahwa
anak panah itu “diam” sekaligus “bergerak”.
d. Paradoks Stadion
“Terdapat tiga buah barisan benda A, B, dan C di lapangan tengah stadion.
Barisan A terletak diam di tengah lapangan. Sementara B dan C masing-masing
terletak di ujung kiri dan kanan A.
Kemudian B dan C bergerak saling mendekati dengan kecepatan yang sama
(hendak bersejajar dengan barisan A).
zeno-stadium
Antara “Sebelum” dan “Sesudah”, titik C paling kiri melewati dua buah B,
tetapi cuma satu buah A.
Berarti waktu C untuk melewati B = setengah waktu untuk melewati A. Padahal
A dan B adalah unit yang identik!
Mungkinkah setengah waktu = satu waktu?”
Dalam paradoks ini, Zeno
mengetengahkan bahwa “duabenda yang saling mendekati butuh waktu yang lebih
singkat untuk sejajar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar